Nilai
Belakangan ini media sosial sedang ramai-ramainya dalam tebar-menebar
kebencian dan konten hoax, khususnya soal intoleransi menyangkut SARA. Apalagi
dengan rentetan kejadian aksi terorisme dan sekarang juga menjelang pilpres.
Intoleransi terhadap SARA pun kian menjadi.
Hmm sara…
sara? Sara siapa? Sara Sechan? Sara Azahari? Bukan cuy, SARA akronim dari Suku,
Agama, Ras, dan Antar Golongan.
Sosial
media seolah menjadi media penyedia lahan hoax. Bibit kebencian disebar dan
dibiarkan tumbuh liar di pekarangan. Suburnya belukar kian menggelapkan dan
menambah kesan tak nyaman pada sebuah rumah. Kebencian disebar, orang-orang
terpicu, masa terkumpul, masa mematikan nalar, masa kalap. Lalu? Persekusi? Perpecahan? Tawuran?
Perang? Waduh!
Isu yang
digoreng, penggiringan opini, konten click bait, hoax, semua tindakan yang
dapat membuat netisen terprovokasi, dan pada akhirnya masa yang terkumpul akan
melakukan tindakan diluar batasan.
Netizen yang budiman semestinya cermat dalam menyikapi suatu isu dengan
jangan mudah percaya, kritis dalam berpikir dan bertindak, dan selalu
berhati-hati dalam beropini, khususnya di dunia maya karena jejak digital tidak
bisa dihilangkan begitu saja.
Sebenarnya
apa yang menjadi motivasi mereka, penggerak hatinya untuk berbuat seberani itu?
Aaaahh pasti dong ini ada sebabnya, ada akarnya. Apa sih sebabnya? Kenapa sih?
Apaan sih lu?
K e n a p
a y a a a a
a
a a .
. . .
.
.
.
Mungkin
karena mereka gasuka sama orang itu, baik dalam perkataan atau tindakannya,
atau
terpengaruh orang lain,
atau
karena disuruh,
atau
karena pengen aja,
atau “panutan
saya ga suka ama dia, jadi saya ikutan deh”
Biasanya
orang berbuat jahat dengan menyebarkan kebencian seperti itu karena
terpengaruh. Mereka melihat banyak orang lain yang berkelakuan seperti itu.
Atau malah, bisa jadi nyontoh idolanya. Sebagai idola atau tokoh yang
merupakan influencer, seseorang yang punya pengaruh besar dalam di
masyarakat dalam bersikap, jikalau sang idola atau tokoh ini
menyebarkan kebencian maka kemungkinan besar orang lain atau pengikutnya
juga akan meniru perbuatan tersebut. Lalu sekumpulan orang yang membenci itu
bisa semakin meluas ke orang-orang yang “bersih”, yang awalnya tidak tau
apa apa namun dipengaruhi oleh orang-orang yang membenci tadi.
Karena
seorang idola, maka pasti perkataan dan perbuatannya ditiru, dijunjung, bahkan
sosoknya di-nabi-kan. Jangan deh. Inget ya, Nabi beneran itu lelaki pilihan
Tuhan, bukan pilihan manusia.
Membela
manusia secara berlebihan hingga menjadi fans garis keras atau fanatik
maka sama saja dengan berhala masa kini. Mereka itu cuma manusia biasa,
kayak kita. Sama.
Manusia
adalah mahluk yang dinamis. Bisa berubah sewaktu-waktu. Bisa aja kan 5 menit
yang lalu dia memutuskan begini, lalu 5 menit setelahnya dia memutuskan begitu
#adaaa #yasayaitu. Setiap perkataan dan tindakan bisa benar, dan pasti bisa
salah. Dan orang yang biasanya sering berbuat salahan pasti bisa melakukan
sesuatu yang benar juga. Tidak ada manusia yang statis. Kita bukan malaikat.
Sampai akhirnya saya
menyimpukan, bahwa membela manusia itu merupakan suatu kebodohan.
Disini kita membicarakan sesuatu yang diperjuangkan manusia, sebuah
nilai, yaitu keadilan. Entah keadilan dari perkataan atau tindakannya. Yang
harusnya kita lihat adalah itu, bukan personalnya.
Maka, bela kebenaran, bukan manusia. Sesungguhnya fanatisme dan
kebencian itu mematikan akal dan hati.
kok tumben
BalasHapus.
.
but, keep it up
makasih mba
HapusGua komen biar dpt jodoh aja kit
BalasHapusaamiin
Hapus